RESIKO PADA REMAJA AKIBAT PERNIKAHAN DINI
Zulfa
Fikriana Rahma
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan
Kampus III UAD, Jln. Prof. Soepomo, Janturan,
Yogyakarta 55164
Abstrak
Akhir-akhir ini terjadi
pernikahan dini pada kalangan remaja. Pernikahan dini diartikan merupakan
instituisi agung untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam
satu ikatan keluarga. Ada beberapa faktor penyebab pernikahan dini, yaitu
faktor pribadi dan faktor keluarga. Dari faktor pribadi remaja adalah karena
ingin menghindari dosa (seks bebas), dan ada juga yang karena
"kecelakaan". Sedangkan dari faktor keluarga adalah karena paksaan
orang tua. Dalam pernikahan dini, ada beberapa dampak yaitu kanker leher rahim,
neoritis depresi, dan konflik yang berujung perceraian. Pernikahan dini dalam
perspektif psikologi adalah tidak menghambat pendidikan. Bahkan bisa menambah
motivasi. Yang dikhawatirkan adalah emosi mereka yang masih labil. Namun, jika
sang remaja mampu mengendalikan diri, dan bersikap dewasa maka permasalahan
tersebut akan terhindar. Sedangkan perspektif agama, pernikahan dini boleh
saja. Apalagi jika untuk mencegah perbuatan dosa (seks bebas).
Kata Kunci: Pernikahan dini pada kalangan remaja,
pengertian pernikahan dini, hukum menikah, faktor penyebab, dampak pernikahan
dini, dan macam-macam perspektif pernikahan dini.
I.
PENDAHULUAN
Pernikahan usia dini
masih banyak dijumpai di negara berkembang termasuk Indonesia. Sampai saat ini,
makin sering kita dengar fenomena pernikahan usia dini tidak hanya di kalangan
masyarakat adat tetapi telah merambah pelajar sekolah yang semestinya fokus
menuntut ilmu dan mengembangkan bakat.
Dari sisi psikologis, memang wajar
kalau banyak yang merasa khawatir. Bahwa pernikahan di usia muda akan
menghambat studi atau rentan konflik yang berujung perceraian, karena
kekurangsiapan mental dari kedua pasangan yang masih belum dewasa betul.
Sebetulnya, kekhawatiran dan
kecemasan timbulnya persoalan-persoalan psikis dan sosial bahwa pernikahan di
usia remaja dan masih di bangku sekolah bukan sebuah penghalang untuk meraih
prestasi yang lebih baik, bahwa usia bukan ukuran utama untuk menentukan
kesiapan mental dan kedewasaan seseorang bahwa menikah bisa menjadi solusi
alternatif untuk mengatasi kenakalan kaum remaja yang kian tak terkendali
(Ahdim, 2002).
Pernikahan dini
melanggar hak anak, terutama anak perempuan. Anak perempuan, sebagai pihak yang
paling rentan menjadi korban dalam kasus pernikahan dini, juga mengalami
sejumlah dampak buruk.
Plan Indonesia,
organisasi kemanusiaan yang fokus pada perlindungan dan pemberdayaan anak,
menyampaikan hasil temuannya mengenai pernikahan dini. Plan mencatat 33,5
persen anak usia 13-18 tahun pernah menikah, dan rata-rata mereka menikah pada
usia 15-16 tahun.
Penelitian ini
dilakukan di delapan kabupaten di seluruh Indonesia selama Januari-April 2011.
Wilayah penelitian mencakup Kabupaten Indramayu (Jawa Barat), Grobogan dan
Rembang (Jawa Tengah), Tabanan (Bali), Dompu (NTB), serta Timor Tengah Selatan,
Sikka, dan Lembata (NTT) (Kompas, 2011).
II.
PENGERTIAN PERNIKAHAN DINI
Pernikahan Dini merupakan sebuah nama yang lahir dari komitmen moral dan
keilmuan yang sangat kuat, sebagai sebuah solusi alternative, setidaknya
menurut Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono pada tahun 1983.
Pengertian
secara umum, pernikahan dini yaitu merupakan instituisi agung untuk mengikat
dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga. Remaja itu
sendiri adalah anak yang ada pada masa peralihan antara masa anak-anak ke
dewasa, dimana anak-anak mengalami perubahan-perubahan cepat di segala bidang.
Mereka bukan lagi anak, baik bentuk badan, sikap dan cara berpikir serta bertindak,
namun bukan pula orang dewasa yang telah matang (Zakiah Daradjat, 2004).
Pernikahan dini yaitu
merupakan intitusi agung untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja
dalam satu ikatan keluarga (Lutfiati, 2008).
Pernikahan dini adalah
pernikahan di bawah usia yang seharusnya belum siap untuk melaksanakan
pernikahan (Nukman, 2009)
III.
SEBAB – SEBAB PERNIKAHAN DINI
Ada dua faktor penyebab terjadinya
pernikahan dini pada kalangan remaja, yaitu sebab dari anak dan dari luar anak.
1.
Sebab dari Anak
a.
Faktor Pendidikan
Peran pendidikan anak-anak sangat
mempunyai peran yang besar. Jika seorang anak putus sekolah pada usia wajib
sekolah, kemudian mengisi waktu dengan bekerja. Saat ini anak tersebut sudah
merasa cukup mandiri, sehingga merasa mampu untuk menghidupi diri sendiri.
Hal yang sama juga jika anak yang
putus sekolah tersebut menganggur. Dalam kekosongan waktu tanpa pekerjaan
membuat mereka akhirnya melakukan hal-hal yang tidak produktif. Salah satunya
adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis, yang jika diluar kontrol membuat
kehamilan di luar nikah.
b.
Faktor telah melakukan hubungan
biologis
Ada beberapa kasus, diajukannya
pernikahan karena anak-anak telah melakukan hubungan biologis layaknya suami
istri. Dengan kondisi seperti ini, orang tua anak perempuan cenderung segera
menikahkan anaknya, karena menurut orang tua anak gadis ini, bahwa karena sudah
tidak perawan lagi, dan hal ini menjadi aib.
Tanpa mengenyampingkan perasaan
orang tua, hal ini sebuah solusi yang kemungkinan di kemudian hari akan
menyesatkan anak-anak. Ibarat anak sudah melakukan suatu kesalahan yang besar,
bukan memperbaiki kesalahan tersebut, tetapi orang tua justru membawa anak pada
suatu kondisi yang rentan terhadap masalah. Karena sangat besar di kemudian
hari perkawinan anak-anak tersebut akan dipenuhi konflik.
2.
Sebab dari luar Anak
a.
Faktor Pemahaman Agama
Ada sebagian dari masyarakat kita
yang memahami bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis, telah
terjadi pelanggaran agama. Dan sebagai orang tua wajib melindungi dan
mencegahnya dengan segera menikahkan anak-anak tersebut.
b.
Faktor ekonomi
Kita masih banyak menemui
kasus-kasus dimana orang tua terlilit hutang yang sudah tidak mampu dibayarkan.
Dan jika si orang tua yang terlilit hutang tadi mempunyai anak gadis, maka anak
gadis tersebut akan diserahkan sebagai “alat pembayaran” kepada si piutang. Dan
setelah anak tersebut dikawini, maka lunaslah hutang-hutang yang melilit orang
tua si anak.
c.
Faktor adat dan budaya.
Di beberapa belahan daerah di
Indonesia, masih terdapat beberapa pemahaman tentang perjodohan. Dimana anak
gadisnya sejak kecil telah dijodohkan orang tuanya. Dan akan segera dinikahkan
sesaat setelah anak tersebut mengalami masa menstruasi. Padahal umumnya
anak-anak perempuan mulai menstruasi di usia 12 tahun. Maka dapat dipastikan
anak tersebut akan dinikahkan pada usia 12 tahun, jauh di bawah batas usia
minimum sebuah pernikahan yang diamanatkan UU (Ahmad, 2009).
IV.
PEMBAHASAN
Menikah
hukum asalnya adalah sunnah. Perintah untuk menikah merupakan tuntutan untuk
melakukan nikah. Namun tuntutan tersebut tidak bersifat pasti atau keharusan
(ghairu jazim) karena adanya kebolehan memilih antara kawin dan pemilikan budak
(milku al yamin). Maka tuntutan tersebut merupakan tuntutan yang tidak
mengandung keharusan (thalab ghair jazim) atau berhukum sunnah, tidak wajib.
Namun
hukum asal sunnah ini dapat berubah menjadi hukum lain, tergantung keadaan
orang yang melaksanakan hukum nikah. Oleh karena itu,
para ahli fiqih mendudukkan hukum pernikahan pada empat hukum:
1. Wajib menikah bagi orang yang sudah punya calon istri atau
suami dan mampu secara fisik, psikis, dan material, serta memiliki dorongan
seksual yang tinggi sehingga dikhawatirkan kalau pernikahan itu ditangguhkan akan
menjerumuskannya pada zina.
2. Sunnah menikah bagi orang yang sudah punya calon istri atau
suami dan sudah mampu secara fisik, psikis, dan material, namun masih bisa menahan
diri dari perbuatan zina.
3. Makruh menikah bagi orang yang sudah punya calon istri atau
suami, namun belum mampu secara fisik, psikis, atau material. Karenanya, harus
dicari jalan keluar untuk menghindarkan diri dari zina, misalnya dengan shaum
dan lebih meningkatkan taqarrub diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah lainnya.
4. Haram menikah bagi mereka yang seandainya menikah akan
merugikan pasangannya serta tidak menjadi kebaikan. Maupun menikah dengan
tujuan menyakiti pasangannya.
Adapun menikah dini, yaitu menikah
dalam usia remaja atau muda, bukan usia tua, hukumnya menurut syara’ adalah
sunnah.
Menikah dini hakikatnya adalah
menikah juga, hanya saja dilakukan oleh mereka yang masih muda dan segar,
seperti para pelajar, mahasiswa atau mahasiswi yang masih kuliah. Maka dari itu
hukum yang berkaitan dengan nikah dini ada yang secara umum harus ada pada
semua pernikahan, namun ada pula hukum yang memang khusus yang bertolak dari
kondisi khusus, seperti kondisi pelajar yang masih sekolah, bergantung pada
orang tua dan belum mempunyai penghasilan sendiri, mahasiswa yang masih kuliah
yang mungkin belum mampu memberi nafkah.
Resiko pernikahan dini berkait erat dengan beberapa
aspek, sebagai berikut:
1.
Segi kesehatan
Dilihat dari segi kesehatan,
pasangan usia muda dapat berpengaruh pada tingginya angka kematian ibu yang
melahirkan, kematian bayi serta berpengaruh pada rendahnya derajat kesehatan
ibu dan anak.
Menurut ilmu kesehatan, bahwa usia
yang kecil resikonya dalam melahirkan adalah antara usia 20-35 tahun, artinya
melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun mengandung
resiko tinggi. Ibu hamil usia 20 tahun ke bawah sering mengalami prematuritas
(lahir sebelum waktunya) besar kemungkinan cacat bawaan, fisik maupun mental ,
kebutaan dan ketulian.
2.
Segi fisik
Pasangan usia muda belum mampu
dibebani suatu pekerjaan yang memerlukan keterampilan fisik, untuk mendatangkan
penghasilan baginya, dan mencukupi kebutuhan keluarganya. Faktor ekonomi adalah
salah satu faktor yang berperan dalam mewujudkan dalam kesejahteraan dan
kebahagiaan rumah tangga. Generasi muda tidak boleh berspekulasi apa kata nanti,
utamanya bagi pria, rasa ketergantungan kepada orang tua harus dihindari.
3.
Segi mental/jiwa
Pasangan usia muda belum siap
bertanggung jawab secara moral, pada setiap apa saja yang merupakan tanggung
jawabnya. Mereka sering mengalami kegoncangan mental, karena masih memiliki
sikap mental yang labil dan belum matang emosinya.
4.
Segi pendidikan
Pendewasaan usia kawin ada kaitannya
dengan usaha memperoleh tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan persiapan yang
sempurna dalam mengarungi bahtera hidup.
5.
Segi kependudukan
Perkawinan usia muda di tinjau dari
segi kependudukan mempunyai tingkat fertilitas (kesuburan) yang tinggi,
sehingga kurang mendukung pembangunan di bidang kesejahteraan.
6.
Segi kelangsungan rumah tangga
Perkawinan usia muda adalah
perkawinan yang masih rawan dan belum stabil, tingkat kemandiriannya masih
rendah serta menyebabkan banyak terjadinya perceraian (Ihsan, 2008).
V.
KESIMPULAN
Ada berbagai penyebab pernikahan dini. Contohnya
adalah karena hamil di luar nikah (kecelakaan), ingin menghindari dosa (seks
bebas), dan ada juga karena paksaan orang tua. Pernikahan dini diperbolehkan
dalam agama. Hal itu karena apabila si remaja tidak bisa menahan nafsu, jadi
lebih baik dia menikah.
Ada berbagai dampak yang disebabkan oleh pernikahan
dini, yaitu kanker leher rahim, neoritis depresi, dan konflik yang berujung
pisah rumah bahkan perceraian. Kanker leher rahim yang menyerang remaja putri
setelah pernikahan dini karena pada usia remaja, sel-sel leher
rahim belum matang.
Pada
dasarnya, rumah tangga dibangun atas komitmen bersama dan merupakan pertemuan
dua pribadi berbeda. Namun, hal ini sulit dilakukan pada pernikahan usia
remaja. Hal tersebut memacu terjadinya konflik yang
bisa berakibat pisah rumah, atau bahkan perceraian. Itu semua karena emosi remaja
masih labil. Terkadang masalah-masalah rumah tangga juga bisa menyebabkan
neoritis depresi.
VI.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr.
Sarlito Wirawan Sarwono.1983. Bagaimana Kalau Kita Galakkan Perkawinan
Remaja?. Jakarta: PT Ghalia Indonesia.
Muhammad
Fauzil Adhim2002. Indahnya Pernikahan Dini. Jakarta: PT
Lingkar Pena.
menikah adalah solusi yg baik untuk menghindari perzinaan dan sek pranikah...
ReplyDeletejadi kalau sudah mampu segera menikah...
barokah dan berpahala...:)
hapsari
prosouvenir.com